Cerpen: Satmoko Budi Santoso
SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh
diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu
sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal
kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang
berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang
ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak
berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar
bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang,
Montenero sendiri tinggal bunuh diri!
"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga
mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero,
meronta.
"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi
kedirian batin Montenero yang lain menimpali.
Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam
kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang,
tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam
di dalam dirinya lunas terbalaskan.
"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan
untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau
bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka
menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi
makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada
Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya
sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.
Montenero menghela napas. Menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa
membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga
mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau
harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero," cecar
sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa,
Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.
"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus
mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap.
Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga
mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak
perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara
terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus
diubah. Dengan segera!"
Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok
ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan
tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.
"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya.
Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat.
Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada
kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja,
penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat,
dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah
sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain
pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh
tak diperlukan lagi?
"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali
tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa
lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau.
Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat
Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau
panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat!
Ayo, dong. Cepat!!!"
Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu
mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi
mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas,
selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan
kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa,
Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi
setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya.
Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas
dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang
sableng.
Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang
tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan.
Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar.
Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah
tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan?
Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya
pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran
keberanian Montenero menjelang matahari terbit?
"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah
menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku
dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam
ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa,
Montenero angkat bicara.
"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku
tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah
sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila
akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa
balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam
dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing,
kau!!!"
Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu
merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus
mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja
berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati
dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah
kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa
yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau
yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian
kematiannya.
"Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup
membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku
masih bersabar bersama Pedang."
"Bagaimana?" Montenero mengusik tanya kepada dirinya
sendiri.
"Terserah!"
"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup
kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam
ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera.
Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup
itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia
bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa
ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"
Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru
berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara
meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat
perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri
ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah,
dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul
lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah
tidak.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar asal jangan ada kata-kata jorok, jelek, kasar, atau umpatan. Apabila ada kata-kata tersebut maka kami sebagai admin berhak untuk menghapus komentar tersebut. Terimakasih