Test Footer

Total Tayangan Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Topi Helm


Cerpen: A. A. Navis

Terjunjungnya topi helm di atas kepala Tuan O.M. menjamin kelancaran kerja di bengkel kereta api di kota kecil Padang Panjang. Meskipun Tuan O.M. itu pendek, tapi oleh topinya yang besar itu, tersandang jugalah wibawanya sebagai opseter mesin di bengkel itu. Dan oleh bawahannya di lengketkan julukan Si Topi Helm atas Tuan O.M. yang oleh ayahnya sendiri dinamai Gunarso. Malah pakai R.M. pula di depannya sebab turunannya.

Demikian besar wibawanya. Hingga kalau sekelompok orang mengobrol selagi kerja di bengkel itu, lalu di antaranya membisikkan: “Sssst. Si Topi Helm,” maka berjungkir baliklah mereka bekerja dengan tekunnya. Kadangkala ini menjadi olok-olok. Misalnya sekelompok orang mengobrol, lalu seseorang menyebut Si Topi Helm dengan tiba-tiba, tunggang langganglah mereka ke tempat kerjanya kembali. Dan pura-pura asyiklah mereka bekerja, seolah-olah mereka sejak dari tadi benar-benar bekerja. Tapi tahu-tahu kedengaranlah tawa terbahak-bahak. Maka tahulah mereka bahwa ada yang berolok-olok dan mereka telah tertipu.

Karena seringnya olok-olok demikian dilakukan, akhirnya orang selalu curiga akan bisikan “sssst, Si Topi Helm.”

Tapi pada suatu hari olok-olok itu menyebabkan seorang masinis turun pangkat jadi stoker kembali. Biasanya untuk membersihkan bagian bawah dari sebuah lok kereta api hanya dilakukan oleh dua orang saja. Lok itu berdiri di atas sebuah lobang yang panjang, hingga orang-orang dapat bekerja tegak untuk membersihkan di sebelah bawahnya. Tapi masinis, yang badannya besar hingga di panggil “Kingkong” oleh buruh lainnya, setelah masuk ke lubang itu untuk memeriksa, ia tidak keluar lagi. Ia mengobrol dulu memenuhi kebiasaannya. Obrolannya makin lama kian enak, sehingga mereka tertawa kesenangan. Dan…. memeriksa, ia mendengar betapa meriahnya suasana dalam lubang di bawah lok itu, orang-orang lain yang sedang bekerja di bagian lain lok itu ikut pula masuk ke lubang itu.

Sedang si masinis asyik mengobrol dengan segala geraknya yang lucu,tanpa setahunya Tuan O.M. sudah ada dekat lok yang sedang di bersihkan itu. Didengarnya saja obrolan bawahannya itu diam-diam. Tiba-tiba salah seorang di antara orang-orang yang di dalam lubang itu melihat sepatu dan celana coklat Tuan O.M. dari celah-celah jari-jari roda lok, lalu dengan ketakutan dia berbisik, “Sssst Si Topi Helm.” Serentak rubu rubai, antara percaya dan tidak mereka sepura asyik bekerja. Ada yang membersihkan roda, ada yang membersihkan as, malah diantaranya ada yang mengetok apa saja yang dirasanya patut diketok. Tapi masinis melihat betapa takutnya orang-orang oleh bisikan yang berbisa itu, jadi tertawa terbahak-bahak sendiri. Lucu benar dianggapnya tingkah laku mereka itu.

“Hm. Apa yang kalian takutkan? Si Topi Helm?” Ia mengejek. ” Apa pula yang ditakutkan pada si pendek itu. Patutnya padaku kalian takut, Si Kingkong ini. Tidak pada Si Topi Helm yang pendek seperti kera itu kalian takut. Puahhh. Kalau sekarang ada Si Topi Helm itu di sini, aku patahkan lehernya. Seperti kingkong mematahkan leher kera tentunya. Ha ha haaa. Kalian benar-benar, ada saja seseorang berkata: ‘Sssst Si Topi Helm’, waaahhh kecutlah ekor kalian seperti anjing ketemu singa. Adukan sama Kingkong, Kawan. Adukan sss…”

Ia tak jadi menyudahkan kalimatnya. Karena tiba-tiba didengarnya orang mendehem. Dan dehem itu dikenalnya. Lalu diintipnya dari antara roda-roda lok ke arah datangnya dehem itu. Terbitlah kecutnya. Hilanglah segala omongannya yang besar tadi. Tak seorang pun yang berani ketawa, meski seharusnya mereka bisa ketawa melihat betapa kecutnya kingkong melihat kera. Belum sampai sempat masinis itu berpikir, Tuan O.M. sudah pergi dari situ. Maka seorang demi seorang keluarlah dari bawah lubang itu. Kembali ke tempat kerja masing-masing. Selagi belum sempat masinis melenyapkan rasa kuyu di hatinya, datanglah panggilan dari Tuan O.M. untuknya. Dan Si Kingkong itu kini merasa telah menjadi kera.

Demikianlah kisahnya. Tapi semenjak itu Tuan O.M. tidak lagi memakai helmnya. Entah karena topi itu sudah tua, entah karena ia sudah tahu orang-orang mengejeknya dengan topi helm yang besar itu, tidak seorang pun yang tahu.

Namun setahun kemudian topi helm itu tidak punya wibawa benar-benar lagi. Yaitu semenjak kepala Pak Kari yang menjunjungnya. Di waktu topi helm itu berpindah kepala, sebenarnya terjadilah peristiwa penting atas keluarga Tuan O.M. Topi itu tiga tahun yang lalu dibelinya di Semarang, ketika ia dipindahkan ke kota kecil Padang Panjang. Kota penghujan itu menjadikan topi itu lekas tua. Dan untuk penggantinya di kota itu tidak mungkin, karena tidak ada orang jual. Meski topi helm itu telah tinggal tergantung di kapstok di rumahnya, namun julukan “Si Topi Helm” masih juga lengket pada Tuan O.M. sampai ia dipindahkan ke Bandung.

Pada waktu buruh bengkel kereta api yang dikerahkan R.M. Gunarso sibuk mengepak perabotan rumah yang akan dibawa pindah, topi helm yang tua itu sampai terlupakan. Barulah ketika rumah itu sudah kosong, Nyonya Gunarso melotot melihat sang topi tergantung sendiri pada paku di dinding.

“Kenapa ini bisa kelupaan, Pap?” tanya perempuan itu. “Kaupakai sajalah, ya. Sayang kan kalau dibuang.”

“Ah, jangan, ah. Masa pembesar bawa topi begini ke kapal. Malu, ah. Mam.”

“Habis? Mau dibikin apa? Semua barang-barang sudah dimasukkan ke peti. Dan peti-peti sudah diangkut ke stasiun.”

Dan mata Tuan O.M. melirik kepada bawahannya yang telah membantu mengepak barang-barangnya. Semua ia kenal baik, yakni para tukang rem. Kepada siapa harus diberikan supaya adil, pikirnya. Ia ragu-ragu menetapkan. Tapi ketika matanya tertumbuk kepada Pak Kari, sesuatu pada jantung orang tua itu terasa bergetar.

“Daripada dibuang, Mam, apa tidak sebaiknya kalau diberikan kepada mereka saja?” kata Tuan O.M. minta musyawarah istrinya.

Dan Pak Kari menatap mata perempuan itu dengan nanap, seperti ada suatu perjanjian antara mereka, bahwa topi itu seharusnya buat dia diberikan perempuan itu.

Tapi perempuan itu berkata, “Coba dulu siapa yang pas betul.”

Tuan O.M. mengedarkan pandangan ke semua bawahannya seorang demi seorang, sehingga para tukang rem itu berdegupan darahnya oleh harapan bakal mendapat topi helm itu. Akhirnya masing-masing mencobakan topi itu di kepala mereka berganti-ganti. Dan kebetulan, ya kebetulan sekali, Pak Kari yang sama pendeknya dengan Tuan O.M. memiliki kepala yang sama besarnya pula, sehingga topi helm itu haknya.

Sedang Pak Kari nyengar-nyengir kegirangan oleh rezekinya itu, tiba-tiba perempuan itu berkata, ” Ah, Kari. Gagah betul kau. Tapi jangan berlagak lakiku pula kau.”

Di antara suara tertawaan, Pak Kari merasa badannya terlambung setinggi rumah dan membesar seperti gajah. Dan bagaimana hematnya Tuan O.M. dengan helmnya, lebih lagi Pak Kari, si tukang rem itu. Ia tak tega membiarkan topinya kena hujan setitik pun. Betapa bangganya kalau topi itu di kepalanya, demikian pula besar sayangnya kepada helmnya. Sering ia tersenyum sendirian bila melihat wajahnya pada kaca pajangan toko yang dilewatinya saban pergi dan pulang kerja. Dan tentu saja tingkah laku Pak Kari yang berlebih-lebihan itu menjadi bahan olok-olok oleh kawan sekerja. Tapi juga jadi pangkal kejengkelan atasannya. Namun Pak Kari berpendapat olok-olok atau kejengkelan itu adalah disebabkan rasa iri hati mereka karena tak punya topi helm warisan Tuan O.M.

Akan tetapi semenjak Pak Kari menjadi pemilik baru topi helm yang besar itu ia pun mendapat julukan. Bukan Si Topi Helm sebagaimana yang ditonggokkan kepada Tuan O.M., melainkan ia mendapat nama julukan Si Gunarso. Berbeda dengan Tuan O.M. yang tidak menyenangi nama julukan yang diberikan orang dengan Si Topi Helm, Pak Kari malah merasa bahagia dipanggil Si Gunarso. Bahkan kadang-kadang ia benar-benar merasakan dirinya sebagai Gunarso. Gunarso yang pendek dan punya wibawa begitu ideal dalam pandangan Pak Kari yang bertubuh sama pendeknya pula.

Pak Kari adalah tukang rem semenjak delapan belas tahun lalu. Sebelum itu dia hanya seorang penganggur yang hampir putus asa dalam mencari pekerjaan. Dan ia tahu benar apa artinya menjadi tukang rem di kala itu. Bangun pagi-pagi dan sebelum jam lima sudah mesti berada di stasiun. Pulangnya kadang-kadang sudah jam sembilan malam. Namun dibandingkan dengan orang-orang lain, yang tidak mempunyai pekerjaan apa pun, ia sudah merasa bahagia. Akan tetapi karena potongan badannya yang kecil kurus menjadikannya lebih merasa kecil diri dalam pergaulan dengan tukang-tukang rem lainnya. Dan karena itu dari dirinya dituntut kesabaran yang kadang-kadang sampai di luar kemampuannya sebagai manusia. Lebih lagi semenjak ia mempunyai topi helm, kesabarannya sering kali mendapat tantangan yang sangat tengik.

Padang Panjang kota kecil yang penghujan. Selama belum bertopi helm, Pak Kari tak pandai menyumpahi hujan. Akan tetapi kini ia sudah sering menyumpahinya, karena hujan itu memaksanya tidak dapat memakai topi di kepala menurut selayaknya. Selain dari hujan, dari kawannya sendiri sering pula ia mendapat gangguan. Umpamanya selagi ia sedang sembahyang, ada saja kawannya yang menyembunyikan topi helmnya. Sehingga ia mencari-cari dengan perasaan sedih dan dongkol sampai topi helmnya bisa ditemukan. Susahnya kawan-kawannya tahu, Pak Kari bergeming selagi sembahyang meski ia tahu topinya diambil orang untuk disembunyikan. Sungguhpun demikian kawan-kawannya lebih suka menggodanya selagi sembahyang itu. Dan ketika seluruh tukang rem mendapat topi dinas model topi petani di Jawa, Pak Kari merasa bahwa pimpinan perusahaan kereta api telah ikut iri hati karena ia mempunyai topi helm itu. Namun ia tetap berkeras kepala tak hendak memakai topi dinas itu. Barulah ketika sepnya mengancam hendak memberhentikannya, Pak Kari menerima kalah. Maka tinggallah topi helmnya di rumah, tergantung di dinding pada paku. Setiap pagi hendak pergi kerja topi itulah yang terakhir dipandangnya seolah hendak mengatakan “selamat tinggal”. Dan setiap pulang kerja topi itu pula yang pertama dilihatnya seolah hendak mengatakan “selamat ketemu lagi”. Dan bila hari perainya topi helm itu kembali berada di kepalanya dan dengan bangga dibawanya berjalan-jalan keliling kota.

Beruntunglah Pak Kari karena kewajiban memakai topi dinas model petani itu tidak lama berlangsung. Meski topi itu sangat berguna untuk melindungi kepala dari terik matahari dan guyuran hujan. Akan tetapi topi itu tidak praktis dipakai oleh tukang rem di daerah pegunungan, yang seringkali memeriksa roda apakah masih berputar atau terhenti karena dicekam rem pada waktu kereta api meluncur di penurunan. Karena kalau rel yang licin di kala hujan, roda gerbong yang terlalu kuat dicekam rem akan terhenti berputar, namun kereta api terus meluncur juga, akan bisa menyebabkan gerbong terlepas dari rel bila tiba di tikungan. Akan tetapi bila gerbong tidak direm, kereta api akan kian kencang meluncur. Dan itu akan lebih berbahaya lagi. Oleh karena itulah tukang rem harus sering-sering melihat keadaan roda. Caranya ialah berjongkok di tangga gerbong, tangan bergayut pada pegangan besi di tangga, lalu merendahkan kepala sehingga badan dan kepalanya itu berada di luar bidang gerbong. Pada saat seperti itulah topi dinas terlepas dari kepala tukang rem itu. Atau kalau diletakkan saja pada lantai bordes di kala hendak melihat keadaan roda, topi itu akan sering diterbangkan angin. Sehingga banyaklah tukang rem yang kehilangan topinya. Dan sejak itulah tukang rem tidak lagi wajib mengenakan topi dinasnya. Konon ketika tukang rem pertama yang kehilangan topinya tidak dikenakan sanksi oleh sep mereka, maka Pak Kari buru-buru kehilangan topinya pula dengan melemparkannya pada saat yang tepat. Dan sejak itu, topi helm kembali menghiasi kepala Pak Kari. Pak Kari yang penyabar seolah mendapat kemenangan dan harga dirinya kembali.

Lambat laun kemenangan Pak Kari tiba juga di puncaknya setelah ia melepaskan kesabarannya yang terkenal itu. Dengan puncak kemenangannya itu, martabat topi helmnya menjadi senilai dengan masa Tuan O.M. memakainya dulu.

Kejadiannya ketika Pak Kari dengan beberapa tukang rem lainnya dalam perjalanan bede dari Kayutanam ke Padang Panjang. Jalan kereta api menanjak menyusuri dinding bukit di Lembah Anai. Pada waktu itu, hanya sepertiga dari jumlah tukang rem yang berdinas. Lain halnya jika kereta api yang menjalani rel yang menurun dari Padang Panjang ke Kayutanam yang memerlukan seorang tukang rem pada setiap gerbong. Maka ketika kembali ke Padang Panjang, dua pertiga dari jumlah tukang rem menjadi bede itu umumnya mengisi gerbong penumpang kelas tiga, kalau memang gerbong itu tidak banyak penumpangnya. Banyak di antaranya yang duduk tertidur. Tapi ada kalanya juga mereka sempat tidur berbaring di bangku panjang.

Pak Kari di kala itu dapat tidur membujur pada bangku panjang di bagian tengah. Topi helmnya menutup mukanya. Dalam tidurnya ia bermimpi, bahwa ia benar-benar telah jadi Tuan O.M. Berwibawa dan ditakuti oleh semua bawahannya. Ketika ia pulang kerja, alangkah kaget istrinya melihat Pak Kari telah jadi O.M. Dan dalam mimpinya itu juga, rasanya istrinya persis menyerupai Nyonya Gunarso yang cantik. Maka dipeluknya istrinya itu kuat-kuat. Tapi ketika ia memeluk badannya miring dan jatuhlah topinya ke lantai gerbong.

Persis ketika itu, lewatlah seorang tukang rem lainnya. Dan seolah tak sengaja tersepaklah topi helm itu. Dan Pak Kari yang sudah tersentak bangun melihat topinya melayang. Diburunya topi itu. Tapi topi itu jatuh menimpa pangkuan tukang rem yang sedang tertidur di sudut gerbong. Ia terbangun. Secara refleks ia melemparkan topi itu. Jatuh ke tangan seseorang setelah melalui kepala Pak Kari yang memburu. Pak Kari balik mengejar. Tapi topi itu terbang ke tangan lain. Dan terus berpindah dari seorang ke yang lain setiap Pak Kari memburunya. Kegembiraan pun bangkitlah. Tukang rem yang tertidur pun bangun, demikian juga penumpang. Semua tertawa dan bersorak-sorak kegirangan. Tapi Pak Kari tidak. Malah marahnya bangkit keluar dari endapan kesabarannya yang terkenal. Dicabutnya pisaunya. Dan dia mengancam siapa saja yang berani menghina topi helmnya.

Maka semenjak itu topi helm itu punya kewibawaan lagi. Tak seorang pun yang berani mempermainkan topi helmnya. Menjadi kalap ada perlunya juga untuk menghentikan keberanian orang-orang yang perkasa, pikir Pak Kari lama kemudian setelah ia sadar bahwa kawan- kawannya tak lagi mau menggoda ia dan topi helmnya.

Akan tetapi pada suatu hari yang tak baik baginya, Pak Kari dinas pagi lagi dengan kereta api pertama ke Kayutanam. Ia mendapat tempat pada gerbong terakhir. Sedangkan hujan terus turun semenjak tengah malam. Pagi itu masih meninggalkan renyainya, hingga rel baja yang keras itu menjadi licin sekali. Itu artinya setiap tukang rem yang menempaati setiap gerbong harus bekerja lebih hati-hati. Dan peluitlok sering-sering dibunyikan masinis bila dirasakannya kereta berjalan melebihi kekencangan yang diperlukan, agar setiap tukang rem lebih mengeratkan remnya. Gerbong Pak Kari baru saja mendapat tukaran bantalan rem yang baru, sehingga sedikit saja handel rem ditekannya telah menyebabkan roda-roda berbunyi seperti suara tikus mencicit. Dan Pak Kari harus melihat keadaan roda dengan bergantungan di tangga gerbong, untuk mengetahui apakah bunyi tiu karena pergeseran rem dengan roda atau karena pergeseran roda dengan rel. Jika bunyi itu ditimbulkan oleh pergeseran roda dengan rel, itu artinya roda sudah berhenti berputar. Bisa-bisa pada suatu tikungan yang tajam, roda itu keluar dari rel. Dan itu berbahaya sekali. Kalau roda berhenti berputar, rem mesti dilonggarkan sedikit. Kalau masih berbunyi harus dilihat lagi keadaannya. Begitulah ia lakukan berulang-ulang pada setiap peluit lok dibunyikan masinis.

Peluit lok terus juga berbunyi pendek-pendek untuk memberi peringatan agar rem setiap gerbong lebih dikencangkan. Pak Kari mengikuti perintah itu. Rem di tekan lebih kencang. Tapi rodannya bercicit bunyinya. Lalu ia melihat dengan berjongkok di tangga gerbong. Biasanya ia bergayut dengan punggung ke arah luar gerbong, tapi kali ini ia bergayut dengan menggunakan sebelah tangannya agar ia dapat lebih jelas melihat roda di pagi yang masih remang-remang itu. Dan tiba-tiba ia sadar bahwa kereta api sedang memasuki jembatan yang berpelengkung. Lalu ia menarik badannya agar tidak disambar pelengkung itu …

Barulah ketika kereta api sudah sampai di stasiun kecil di desa Kandang Ampat, orang tahu bahwa Pak Kari tidak lagi di tempatnya. Seorang tukang rem mengatakan, bahwa saat terakhir ia melihat Pak Kari ketika kereta api akan menempuh jembatan berpelengkung setelah air mancur terlewati. Ia melihat Pak Kari berjongkok sambil bergayut dengan sebelah tangannya. Bergalaulah suasana setelah mendengar penjelasan tukang rem itu. Ingatan orang kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Seorang tukang rem disambar pelengkung jembatan itu pada kepalanya ketika berjongkok-jongkok melihati keadaan roda. Persis seperti yang dilakukan Pak Kari di jembatan itu juga. Dan tukang rem itu, Si Buyung, akhirnya ditemui sejauh satu kilometer di hilir Batang Anai. Tersekat pada sebuah batu besar. Tak bernyawa lagi.

Dan masinis yang memegang pimpinan kereta api batu bara itu mengambil putusan untuk membawa lok dan sebuah gerbong kembali ke arah jembatan yang dikira telah mencelakakan Pak Kari. Beberapa tukang rem dibawa untuk mengawasi Batang Anai yang mengalir sejajar rel kereta api itu dan akan membantu mengangkat Pak Kari yang mungkin telah jadi mayat seperti Si Buyung beberapa tahun yang lalu. Di sepanjang jalan tak putus-putusnya peluit lok dibunyikan. Siapa tahu kalau-kalau Pak Kari bisa mendengarnya, pikir masinis itu. Dan setiap mata tertuju ke batang air yang airnya mengalir deras, berbuih-buih, dan menderu bunyinya. Terasa ada kesukaran jika hanya mencari dengan mata; karena hari masih gelap oleh sebab sinar matahari belum lagi menembus celahbukit di balik bertimbal batang air itu.

Sekilometer menjelang jembatan yang disangkakan itu, ditemuilah Pak Kari. Badannya kuyup dan jalannya gontai menginjaki bantalan besi demi bantalan besi rel kereta api. Dan seperti dikomandoi saja, semua tukang rem memaki dan bercarut-carut ke arah Pak Kari. Sedang masinis bukan kepalang meradangnya. Dipanggilnya Pak Kari ke loknya.

“Mengapa jadi begini? Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kejadian ini?” hardik masinis.

Pak Kari diam saja. Kepalanya ditekurkannya, seolah hendak mengatakan bahwa ia mengaku salah.

“Kalau kau mati seperti Si Buyung dulu, bisalah aku mempertanggungjawabkan kejadian ini. Tapi kau tidak mati. Kenapa kau hidup? Kenapa tidak mati saja?”

Pak Kari masih diam.

“Oi. Jawablah. Kenapa kau tak mati saja?”

Tak juga ia menjawab.

“Aku tak senang. Kau mesti dipecat,” kata masinis itu lagi.

Muka Pak Kari yang pucat dan menggigil kedinginan kian pasi dan tambah gemetar mendengar kata masinis yang mau memecatnya. Ia mau memberi keterangan. Tapi lidahnya kelu. Ia tetap menekur juga.

“Jawablah. Kenapa kautinggalkan gerbongmu?” kata masinis lagi dengan nada yang lebih tinggi.

“Topi saya….. topi saya jatuh. Di …di….. dilanggar je… je… jembatan,” kata Pak Kari gagap.

“Oo, karena topi ini jatuh, kau tinggalkan gerbongmu, he? Karena topi ini saja? Karena topi ini saja aku terpaksa mendorong kereta ini kembali? Kenapa topi ini saja yang jatuh? Kenapa kau tidak? Bagus benar kelakuanmu,” kata masinis itu lagi seraya memandangi topi helm yang lengket di kepala Pak Kari. Tiba-tiba direnggutnya topi itu hingga terlepas dari kepala pemiliknya. Karena topi ini, topi pusaka Si Topi Helm ini saja, kaurusak dinasku. Hebat benar topimu.”

Pak Kari ragu-ragu untuk melakukan sesuatu.

“Oh, basah benar topimu itu. Kasihan, ya?” kata masinis itu selanjutnya.

“Ya, Pak. Jatuh masuk sungai. Untunglah tidak jatuh ke tengah. Untunglah di tepi saja,” kata Pak Kari yang mulai sedikit lega karena kata-kata simpati masinis itu.

“Kasihan sekali,” kata masinis itu mengulangi kata-katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala seperti orang terharu sangat. Sedangkan lidahnya berdecak-decak. “Kena air topi ini basah. Kena api bagaimana?” Serentak dengan itu dibukanya pintu api lok itu, dan secepat itu pula dilemparkannya topi helm itu ke dalam api yang sedang nyala. Lalu dia memandang pada Pak Kari yang terkejut melihat peristiwa yang tak disangkanya itu. “Ah, topi biasa saja topimu itu, Kari. Kena air basah. Kena api hangus juga.”

Pak Kari yang kekuyupan pada pagi hari di lembah pegunungan itu, tidak merasa dingin lagi dengan tiba-tiba. Ia merasa begitu panasnya oleh bakaran api di dalam dadanya. Perbuatan memanggang topi helmnya itu tidak dapat dimaafkannya begitu saja. Tapi ketika itu ia tidak tahu bagaimana melampiaskan sakit hatinya. Maka ia diam saja, seperti biasa ia menunjukkan kesabarannya yang terkenal itu.

Dan sebelum Pak Kari sadar pada apa yang tengah terjadi atas dirinya, masinis telah menghardiknya lagi, “Ayo, pergi kau, Babi!”

Hari datang hari pergi. Semua orang sudah lupa pada peristiwa topi helm Pak Kari. Malah orang pun lupa sudah bahwa pada suatu kali Pak Kari pernah menjunjung topi helmnya Tuan O.M., Tuan O.M. yang ditakuti mereka. Orang juga lupa, oleh topi helm itu Pak Kari pernah hendak mengamuk, bahwa Pak Kari pernah meninggalkan gerbongnya karena topi helmnya jatuh dilanggar pelengkung jembatan sehingga orang menyangka Pak Karilah yang terlanggar dan jatuh ke batang air seperti Si Buyung pada masa lalu. Andaikata sesekali orang ingat kembali, segera orang melupakannya lagi.

Akan tetapi sekali hari, ketika Pak Kari sedang bekerja mengeruk-ngeruk tahi arang dari lambung lok di stasiun Kayutanam, tiba-tiba ia melihat seorang mandor jalan kereta api. Mandor itu memakai topi helm. Topi helm yang persis sama dengan topi helmnya. Topi helm yang terbakar hangus dalam tungku api di lambung lok itu juga. Dan ketika matanya mengalih ke dalam tungku api di lambung lok, di mana apinya sedang garang menyala, Pak Kari seperti melihat topi helmnya yang dulu lagi. Menari-nari oleh nyala api. Dan kemudian seperti terlihat dirinya di bawah topi yang menari-nari dalam nyala api itu. Dirinya sendiri yang berwajah setampan Tuan O.M. jika mengenakan topi helm. Ingat itu, ia pun ingat pada suatu peristiwa di rumah Tuan O.M.

Ketika itu Pak Kari tidak berdinas. Perai mingguan. Seperti biasanya, sekali dalam sebulan, ia disuruh Tuan O.M. ikut membantu membersihkan rumah, halaman, dan ada kalanya juga mengeping kayu api di rumah sepnya itu. Dalam ia lagi mengeping kayu api hingga menjadi kecil-kecil, didengarnya teriakan Nyonya Gunarso di kamar mandi. Ia buru-buru mendapati perempuan itu, yang lagi terhenyak duduk di lantai kamar mandi sambil mengurut-urut pinggang dan nyengir-nyengir kesakitan. Pak Kari tak tahu apa yang harus dilakukannya. Lama juga ia tergagap-gagap merumuskan pikirannya untuk mencari cara memberi bantuan. Tapi ketika perempuan itu meminta bantuan, Pak Kari menjadi tambah tergagap. Ada perasaan malu yang kuat sekali dalam dirinya untuk memegang perempuan secantik itu, apalagi perempuan itu istri sepnya.

Akhirnya setelah keberaniannya dapat ia kumpulkan, dibantunya perempuan itu untuk berdiri. Tetapi kemudian, ketika ia memapah dan melingkarkan tangannya ke pinggang perempuan itu di kala mengantarkan ke kamar tidurnya, Pak Kari merasa bahagia sekali. Bahwa meski ia seorang yang termasuk kerdil, ia merasa telah ditakdirkan sebagai pahlawan bagi istri dari sepnya yang juga orang kerdil itu. Pikiran-pikirannya itu, dan perlakuan yang manis dari istri sepnya ketika mengucapkan terima kasih, lambat laun menumbuhkan sesuatu yang dirasanya aneh dalam hatinya, perasaan aneh yang menyenangkan.

Dan topi helm itu, topi yang diberikan Tuan O.M. kepadanya di kala hendak berpisah dulu, dirasakannya sebagai suatu perlambang yang bermakna abadi bagi hubungannya dengan Nyonya Gunarso, hubungan yang tersembunyi, yang begitu indah bila dikenang. Tuhanlah yang menakdirkan segala-galanya, sehingga justru di kepalanya saja topi helm itu bisa pas benar dari sebanyak kepala yang mencobanya. Tuan O.M. dengan topi helmnya itu, bukanlah suatu model manusia yang ditakdirkan untuk jadi bahan olok-olok semata-mata. Kewibawaan Tuan O.M. taklah akan seperkasa itu bila tidak memakai topi helm. Topi helm yang tak ubahnya sebagai mahkota Ratu Wilhelmina. Dan topi helm yang bagai mahkota itu akhirnya jadi kepunyaannya. Demikianlah lamunan Pak Kari.

Demi ia ingat topi helmnya lagi, yang telah terbakar habis oleh api dalam tungku di lambung lok yang lagi dibersihkannya itu, mulailah lagi suatu nyala membakar hati dan pikirannya. Yaitu api dendam yang takkan pernah terpadamkan sebelum terbalas dengan lunas.

Tiba-tiba ia ingin membalasnya sekarang. Sekarang juga. Keinginannya itu melupakan dirinya sendiri, bahwa ia hanyalah seorang kerdil yang tak berdaya yang bertugas menjadi tukang rem pada jalur kereta api Padang Panjang-Kayutanam saja. Yang ia ingat cuma satu, api dendamnya kian marak dan kian marak juga. Dan makin kian marak ketika masinis itu datang memeriksa pekerjaan Pak Kari yang membersihkan tungku api di lambung lok itu.

Baru saja masinis itu menggapaikan tangannya untuk berpegang pada gagang pintu lok hendak meningkati tangga, Pak Kari melemparkan sesodok tahi arang yang berpijar-pijar nyala apinya keluar pintu lok. Berlonggok menimpa wajah masinis itu. Sesuai menurut rencana Pak Kari. Dan sejak itu kegelapan dan kebosanan menjalari kehidupan masinis itu. Adalah jauh lebih ringan apabila ia dapat memandangi wajahnya lewat kaca.

Lalu Pak Kari memandang ke topi helm yang bertengger di kepala mandor jalan kereta api itu dengan senyum kepuasannya, seolah hendak menyatakan kepada topi helmnya, kepada Tuan O.M. dan istrinya, bahwa pembalasan setimpal telah terlaksanakan.

Namun tidak seorang pun yang dapat menyalahkan Pak Kari. Dan Pak Kari pun tak pernah merasa bersalah sedikit pun.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar asal jangan ada kata-kata jorok, jelek, kasar, atau umpatan. Apabila ada kata-kata tersebut maka kami sebagai admin berhak untuk menghapus komentar tersebut. Terimakasih