Test Footer

Total Tayangan Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Membalas Kesabaran Bunda


Kudamai-damaikan nafasku sebelum memasuki bilik kamar, karena di balik pintu yang akan kulewati ini tergeletak seorang perempuan tua yang sangat kucintai. Ia telah lama tergeletak menanti kepulangan. Ah, mungkin karena ketidaksabaranku atau rasa kasihanku pada penderitaannya saya mengira demikian. Ia sama sekali tidak menderita. Akan segera berpulang atau tetap tergeletak di atas ranjang, sepertinya tidak pernah ia pedulikan.  

Maka, setelah nafas ini berayun tenang, saya mengetuk pintu lalu masuk perlahan meskipun tidak mendapatkan jawaban dari dalam. Tangan kananku menggenggam obat yang baru kubeli dari apotik. Kugenggam erat sebungkus obat itu dan perlahan kurengganggkan setelah lega melihat senyumnya. 

"Kenapa kau seterburu-buru itu?" Rupanya ia masih bisa melihat jejak ketergesa-gesaanku tadi, "Kau hanya perlu membelikan obat. Toh, bunda hanya sakit?" 

Tidak percaya saya mendengar ucapannya. Saya begitu khawatir dengan kesehatannya. Setiap hari kusisihkan waktu untuk mengurusnya. Meninggalkan kesenangan bersama teman-teman usai senja. Bahkan terkadang harus kutinggalkan pekerjaan karena perempuan tua itu kembali krisis, meskipun resikonya saya akan kehilangan pekerjaan. 
"Sekarang bunda sakit, tapi nanti akan sembuh. Saya ingin bunda segera sembuh." 

Kugenggam tangannya. Kutempelkan pada pipi kananku. Lalu kuingat-ingat tangannya yang dulu menyisiriku menjelang sekolah. 
"Kenapa kau menginginkan bunda segera sembuh? Kau sudah tidak sabar merawat bunda?" 
"Tidak, bunda. Tidak. Hanya saja saya iba melihat bunda menderita seperti ini." 
"Kau salah anakku. Bunda tidak menderita. Justru Bunda bahagia melihat kesabaranmu merawat bunda. Sepertinya kenakalanmu dulu terbalas. Kau tidak berhutang lagi. Begitulah yang akan kau rasakan ketika kelak kau jadi seorang ibu." 
Air mataku menetes. Ucapanku rupanya telah menyakiti hatinya, menyinggung perasaannya. 
"Maafkan saya, bunda." 
"Kau tidak perlu minta maaf. Lagi pula untuk apa meminta maaf pada bundamu sendiri. Sudah kumaafkan semuanya, bahkan sebelum terlintas uncapan maafmu." Ia menghela nafas panjang, beban kehidupannya pun terpelanting jauh ke angkasa, "Kau hanya perlu berusaha, nak. Tak usah pedulikan bunda akan segera sembuh atau tidak. Bukan usahamu yang menentukan." 
Tangannya ditarik dari genggamanku lalu menyelimuti tubuhnya. Saya seperti terusir. Hati merasakan perih luar biasa karena lidahku telah menyakiti perasaan bunda. Ia tidak pernah seperti itu dalam berkata-kata, tapi kali ini seperti pesan terakhir. Meskipun ia senang melihatku merawatnya, ia bisa melihat hatiku yang sudah tidak sabar lagi. 
Air mata semakin tidak bisa terbendung lagi.


Bandarlampung, 30 April 2012
Written by: @Maspaeng

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar asal jangan ada kata-kata jorok, jelek, kasar, atau umpatan. Apabila ada kata-kata tersebut maka kami sebagai admin berhak untuk menghapus komentar tersebut. Terimakasih